Tugu Tani, Bukan Tugu Mati

Di sebuah hotel berbintang di bilangan Jakarta Pusat, dua orang cewek dan seorang cowok tengah asik menikmati pesta shabu.
“Gimana? Udah On belum?” si cowok yang bernama Edo bertanya kepada kedua rekannya.
“Belum nih, yuk ah nambah lagi.” Gea permpuan yang bertubuh gemuk itu menjawab sambil sesekali menghisap bong di tangannya dan menggoyang – goyangkan tubuhnya. Efek shabu selalu membuat orang yang memakai menjadi lebih semangat.
Sementara Carla sibuk sendiri mendengarkan musik dari hapenya sambil bernyanyi – nyanyi tak karuan.
“Lo mau nambah Ge? Ambil langsung ke bandar yang di dekat daerah Senen aja. Bandar langganan gue baru aja ketangkep. Ini aja barang simpanan gue.” Jelas Edo pada Gea.
“La, mau ikut nggak? Gue sama Edo mau keluar dulu beli barang. Nggak enak nih tanggung.” Tanya Gea pada Carla.
“Yuk, gue males di hotel sendirian.” Carla menjawab sambil terus mendengarkan musik dari ponselnya.
Dan mereka pun meninggalkan kamar dan menuju ke basement hotel untuk mengambil mobil.
* * *
Siang ini Ananda, Taufik, Elang, dan rekan – rekan lainnya memilih berjalan kaki di sekitar jalan HM.Rais Jakarta Pusat setelah selesai latihan futsal di lapangan Monas. Peluh membanjiri tubuh mereka. Tawa dan canda sesekali tercetus dari bibir remaja belasan tahun itu. Mereka memang terbiasa berlatih Futsal dari pagi hingga siang di lapangan Monas. Tak peduli teriknya matahari yang akan melegamkan kulit mereka. Bagi mereka futsal adalah hobi yang harus disalurkan. Olahraga ringan yang tak butuh banyak biaya.
“Eh abis ini kita mau langsung pulang atau kemana dulu? Tanya ananda pada rekan – rekannya.
“Pulang ah, mau bantuin nyokap dulu, kasian lagi nggak enak badan. Lagipula ini kan malam Imlek, lumayan tahu ikut dagang kembang api. Dapat uang jajan.” Jawab Elang dengan polosnya.
***
Di halte yang tak jauh dari gerombolan Ananda, nampak lima orang wanita dan satu anak laki – laki tengah menunggu bus setelah pulang tamasya dari Monas. Salah satu diantaranya bernama Rohayati, ia tengah menggendong anaknya sambil berbincang – bincang dengan keluarganya yang lain. Selain ingin tahu bagaimana bentuk Monas, ketujuh warga Jepara ini pun ingin mendatangi ayahandanya yang bekerja sebagai supir Bajaj di ibukota.
“Bu, busnya kok lama? Adek capek.” Tanya Agil, anak lelaki yang ada dalam gedongan Rohayati. Rohayati mengelus kepala anaknya sambil sesekali menciuminya. “Sabar yo Le, ibu juga mau ne cepat. Tapi ini kan Jakarta le, macet.” Jawab Rohayati.
“Bu, Agil nggak betah disini. Lebih enak di Jawa. Nggak ada asap. Nggak berisik. Pulang yuk bu,, pulang.. ga usah pamit sama mbah bu, Agil mau pulang.. hikzz..” Agil mulai menangis sambil memeluk ibunya.
“Iya nak kita pulang,,, Cuma sebentar kok disini… Jangan nangis ya, kita pasti pulang kok …” Rohayati coba meredam tangis Agil dan mendekap erat tubuh mungil anaknya.
* * *
Gea dan kedua rekannya masuk ke dalam mobil Xenia hitam, dan langsung bergerak meninggalkan parkiran.
“Ge, lo yakin nyetir sendiri? Lo dah on tau nggak?” Edo coba mengingatkan Gea yang merasa masih kurang dosisnya.
“Bawel ah, gue aja yang make nggak ngerasa on kok malah elo yang bawel? Udah ah, kasih tau jalannya aja.” Jawab Gea ketus sambil memainkan tangannya menyetir sambil memasang CD di player mobilnya. Mobil bergerak menuju arah jalan HM Rais.  Mobil pribadi, bus, dan angkot selalu menjadi pemandangan sehari – hari di jalan ini.
Gea memasang CD dengan volume super besar di mobilnya. Ia mulai menyetir semaunya. Gas diinjak tanpa berfikir. Kecepatan kini mulai 60km/jam, Edo dan Carla yang memilih duduk di kursi belakang berkali – kali mengingatkan Gea. Namun wanita ini sudah mulai mabuk. Ia tak bisa mengontrol dirinya sendiri.
Sampai akhirnya,.,
“Braakkkkkk,,,,”
“Agillllllll,,,”
“Allahu Akbarrr…”
“Piiiiiiiiiiikkk,,, Laaaaaangggg”
“Ya Allah……”
“tin,,tinnn… ciiitttttttt”
“Gubrakkk..”
Gea dalam keadaan mabuk menabrak beberapa orang sekaligus. Taufik, Elang, Rohayati, Agil, dan beberapa sanak famili dari Rohayati. Tubuh mereka terpental beberapa meter dari lokasi mereka di tabrak. Mereka mati di tempat. Puluhan orang memadati lokasi. Mencari tahu apa yang terjadi. Darah terus mengucur deras dari tubuh anak – anak belasan tahun itu. Rohayati terkapar terpisah dari si anak yang sudah diangkat tubuhnya oleh orang yang kebetulan sedang berjalan kaki. Tapi ternyata Agil pun sudah mengikuti ibunya menemui yang kuasa. Permintaan pulangnya tadi adalah sebuah pertanda kecelakaan maut ini yang akan menimpa mereka.
Tubuh – tubuh tak bernyawa diangkat satu persatu ke atas mobil. Dibawa ke rumah sakit terdekat.
Pihak kepolisian sudah nampak di lokasi, begitupula para pemburu berita yang sudah siap dengan camera, serta kertas dan pena.
Di sisi lain nampak Gea sedang diinterogasi oleh pihak Kepolisian dengan wajah yang sesekali di tutupi selendang hitam mencoba menghalau beberapa wartawan yang hendak mengambil gambarnya. Sementara Edo dan Carla hanya mampu merenungi nasib mereka yang sebentar lagi akan kembali check in, tapi bukan di hotel bintang 4. tapi di hotel prodeo lantai 4.

Selamat jalan saudara – saudaraku, kematian kalian adalah bentuk kecerobohan lalu lintas kita.
Semoga arwah kalian di terima disisiNya
Amienn

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Diberdayakan oleh Blogger.

Followers


Recent Comments